Wanita Inspirasi-ku

Aku sebut saja namanya Dea. Sosoknya kecil, tubuhnya hanya berkisar satu setengah meter. Rambutnya tak pernah dibiarkan panjang sejak aku mengenalnya. Parasnya cantik, tak penah memakai make up, hanya sekali aku melihatnya dipoles. Tapi aku lebih menyukai dia apa adanya, dihiasi oleh lesung pipi yang tajam. Seakan memberi tahu yang menatapnya 'mukaku manis.'
Rambutnya sedikit ikal, jika rambut hitamnya tumbuh agak panjang dari biasanya, beberapa helai kemudian bersepakatan menggulung kecil. Manis. 
Matanya lembut kadang sampai menyiratkan kegelisahan dan kepedihan hatinya. Tapi ia tangguh. Dialah sosok yang paling tangguh yang pernah aku temui. 
Semua bermula dari cerita yang ia pernah tuturkan. 
Dea harus rela meninggalkan bangku pendidikannya dan berhenti sekolah. Sebagai anak kelima dari sembilan bersaudara bukanlah hal yang mudah untuk melanjutkan sekolah. Dea adalah anak perempuan ketiga dari keempat saudaranya. Memang pendidikan jaman dahulu bukanlah menjadi hal sangat penting. Mencukupi kebutuhan untuk hidup itulah yang selalu diajarkan oleh orangtuanya. Maka, Dea tumbuh menjadi gadis belia yang kusimpulkan sendiri, mandiri. 
Dea mengisi waktu sehari-harinya dengan belajar menjahit dan paginya ia harus memasak, mencuci baju kakak-kakak dan adik-adiknya. Ia begitu ingat saat ia selalu kena omel guru les jahitnya dikarenakan Dea selalu datang terlambat. Ia bercerita sambil setengah tersenyum.
Masa mudanya harus dihabiskan dengan membantu pekerjaan orangtuanya. Di samping itu ia tahu ia harus mencari tambahan sendiri. Menjadi guru les adalah pilihannya. Dea pulang larut malam, sampai kadang terlalu lelah lalu tertidur sebelum makan. Sampai akhirnya ia terpaksa harus terbaring di rumah sakit beberapa hari. Lalu katanya ia hampir telah bisa mendefinisikan kematian.
Aku masih ingat, tatapan matanya sekarang saat ia menceritakan masa lalunya. Bibir kecilnya tak berhenti bercerita, seakan berebut untuk keluar untuk diceritakan. Ada lagi tentang pria yang Dea sukai saat ia sudah umurnya untuk pacaran. Ada yang meliriknya namun tidak berani untuk menyapa, ada yang mengejarnya namun hatinya tidak suka. Sama. Seperti halnya menyukai dijaman sekarang.
Bukan berarti Dea adalah sosok wanita yang sempurna. Ia lupa caranya berjalan dengan sempurna karena kaki sebelah kirinya harus ditopang dengan pen.
Ia terkadang lupa menanamkan perasaan sayang. Ia terkadang lupa menata hidupnya, sehingga akhirnya menorehkan perasaan sakit. Ia terkadang begitu egois. Menutup telinga. Tidak mau mendengar. 
Dea yang terlihat adalah wanita yang tangguh dan kuat. Namun aku sadar, dibalik itu semua, ia hanyalah wanita yang kesulitan mencari kebahagiaannya sendiri. Ia terkadang berusaha tapi lupa mengucapkan syukur, ia terkadang bekerja terlalu keras tapi lupa caranya menikmati. 
Tampak kerut di wajah Dea. Rambutnya sudah berseling dengan warna putih. Dea yang kini kutatap seperti itu. Saat ia menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan, aku ingin memberinya pelukan.

Maka kupeluk, wanita paruh baya yang wajahnya sudah mulai mengekrut. Kuusap kepalanya yang berhelai rambut tipis-tipis. Tak peduli ia akan berucap panjang dan seberapa hebatnya ia mengeluh. Lihat, Dea, sekarang saatnya Ibu berhenti sejenak. Lupakan kesulitan dan masalah kehidupan. Biarkan kini giliran anakmu yang bekerja untuk Ibu, memikirkan banyak hal untuk Ibu. Mengusap peluh Ibu, dan mendengarkan saat Ibu ingin berbicara. Maka aku akan mendengar, dan aku akan nyaman seperti saat 21 tahun yang lalu, aku ada dan nyaman di pangkuan Ibu. 
Mei-Juni 14

Comments