Cita-citaku ga setinggi tanah lagi

Ini pertama kalinya aku nulis blog di word dulu. Entah ini cuma random.

Today’s topic adalah tentang desainer.

Desainer itu apa? Buat aku profesinya udah menjamur, menjalar, atau udah banyak. Omong diomong, ada beberapa hal yang membuat aku mulai berpikir tentang profesi dan masa depan. Ada beberapa orang yang mulai menyinggung dan menggelitik masalah pekerjaan. Sebelumnya, jujur, impianku apa ya? Cita-citaku apa ya? Tujuan hidupku apa ya? Ada. Yang dulunya aku sebut mulia, tapi sekarang ga lagi. Apa itu? Jadi Ibu. Punya keluarga bahagia, punya rumah yang sederhana aja, punya anak, membesarkan lalu pokoknya yang apik-apik aja. Bahagia, pakai titik. “Halo, zaman sekarang cm mau jadi Ibu? Ngaco kamu.”

Lalu beberapa orang dikeluargaku juga mulai menyebutkan alternatif pilihan, setelah lulus tahun depan nanti, yang ini aku Aminkan sungguhan. Ga tau, antara kesempatan, antara pengalaman, antara minat dan maunya apa itu kadang-kadang ambigu. “Ambil aja, kesempatan ga datang kedua kali.” “Ya iya, tapi kan siapa bilang yang lain ga bisa kita sebut kesempatan?”

Atau yang lainnya “Pengalaman nya pasti beda, kamu dapat banyak pengalaman loh.” “Ya iya juga sih, tapi.. Kamu ngambil apapun tetep jadi pengalaman kan? Hanya aja berbeda.”

Lalu, beralih ke Jogja, aku belajar banyak hal dan dipertemukan banyak orang disini. Mulai dari tipe orang yang terus terang, kayak lampu Philips. “Let it flows itu apa? Kamu kayak ikan mati. Cuma ikan mati yang ngikutin arus, ikan yang hidup ngelawan arus.”

Ada juga yang menjawab pertanyaanku selama ini. “Desainer itu ga bisa selalu idealis. Kalo memang bisa idealis bisa menghidupkan ya silahkan, tapi kalo ga, ya buang dulu idealis itu.” “Seniman sama desainer kan beda.”

Ada juga yang bilang “Bakat itu ga ada. Yang penting latihan.” Nancep. Selama ini aku cuma mikir, kok aku ga bisa seperti orang-orang yang karyanya oke banget. Aku ga lihat proses mereka, yang dilihat cuma hasil. Siapa yang tahu sebelum menjadi ‘orang’, mereka latihan menggambar tiap hari. Aku kurang berusaha, karena yang aku pikirkan hanya soal bakat, ga bisa gambar badan yang proporsinya bener, “Ya emang ga bakat gimana.”

Disini, aku dipertanyakan. Mana tujuan hidupku.

“Mau jadi apa kamu?” “Ga tahu.”

“Mau jadi desainer ga?” “Mungkin.”

“Selama ini kuliah dapet apa?” “Dapet capek.”

Aku belom siap dilepas dari gedung biru gede berlabel Untar. Aku belom siap pakai toga atopun kebaya. Aku belom punya apa-apa. Yang aku punya cuma enol.

Maka aku sadar, bukan lagi ga tahu arah. “Aku mau jadi desainer yang punya karya, karyaku jadi berkat buat Tuhan (ini juga aku baru tersadar), buat orang lain juga. Aku mau punya impian, punya masa depan yang aku rajut sesuai impianku.”

Maka aku harus “Belajar merangkak. Lebih giat dibanding kelinci. 

Karena aku si kura-kura.”

(Jogja)

Comments