Catatan di bawah langit





Menuju Wonosobo jadi sebuah tantangan baru untuk kami memulai perjalanan. Jalanan yang berliku dan langit yang gelap ditabur bintang menantang kami untuk cepat-cepat sampai di Sikunir untuk mendirikan tenda. Memang kami agak larut berangkat dari Jogjakarta, tapi bukan jadi halangan untuk kami bertujuh menikmati malam bersama.

Kami sampai kira-kira pukul 2 dini hari. Langit cerah dan cuaca tentu saja dingin. Bergegas mendirikan tenda di camping ground yang letaknya tepat di samping danau. Kami pun cepat cepat masuk sambil memakai pakaian hangat. Aku dan temanku juga sempat mencoba mengambil foto bintang sebelum kami akhirnya memutuskan untuk tidur.

Pagi menyambut kami dengan cepat, mentari pagi memandikan rambut dan tubuh kami, sedangkan keindahan gunung dan kabut yang perlahan tersingkap memanjakan mata kami. Sikunir merupakan bukit yang bisa ditempuh dengan jarak sekitar 800m dari tenda kami, dan tangga-tangga batu memudahkan kami untuk menaiki satu demi satu langkah.

Setelah puas kami mencoba baby potato khas Dieng, gorengan pisang tempe dan tahu dengan minuman hangat, kami bersiap-siap berbenah dan mandi. Untuk menyambut perjalanan selanjutnya yaitu Gunung Prau.

Gunung Prau dengan ketinggian 2.565mdpl dapat dicapai melalui dua jalur pendakian, jalur Dieng dan jalur Petak Banten. Kami memutuskan untuk berangkat melalui jalur Dieng yang memakan waktu lebih lama yaitu sekitar 3 jam.

Perjalanan dimulai dengan ditambah satu teman, registrasi, dan berfoto bersama. Ini pertama kalinya aku mendaki gunung. Bukan hal yang mudah tapi bukan artinya mustahil. Persiapan untuk fisik udah kami siapkan sebelumnya diiringi istirahat yang cukup dan jangan lupa berdoa.

Kami melewati perkebunan kentang di sana, kentangnya besar-besar dan katanya warga sekitar itu untuk di eksport ke luar negeri. Wah iya, kami menggumam belum pernah tuh icip kentang sebesar itu.

Kami melalui pos satu, makan siang di pos dua dan pos tiga semuanya kami lalui dengan selamat. Kalau ada diantara kami yang lelah kami beristirahat sejenak untuk sekedar minum atau duduk. 

Perjalanan naik ke puncak buatku bukan cuma sebuah perjuangan fisik tapi juga hati. Gimana aku belajar untuk saling memperhatikan, meninggalkan ego dan jujur terhadap diri sendiri. Perjalanan sederhana yang mengeratkan satu sama lain, dan pencarian jati diri. Kami bersyukur untuk hari itu, kebersamaan dan perjalanan yang tidak mungkin kami lupa.

Ada banyak cerita yang kami simpan dalam hati masing-masing. Ada rahasia yang tersimpan rapih. Ada kenangan yang tersebar seperti bintang di langit, ada keseruan, ada canda tawa, ada ucapan syukur saat melihat temanku yang baik-baik saja setelah hipotermia, ada rasa aman, ada cinta. Ada banyak kisah karena ada kasih. 

Kami berjalan pulang setelah menikmati mentari yang malu malu terselingkup kabut, hamparan awan, savana yang luas, kerumunan tenda ramai yang menyesatkan (aku dan temanku nyasar mencari tenda kami haha). Sarapan pasta dengan puding mangga terenak dan ternikmat. Kami siap-siap untuk pulang, merapihkan tenda dan berucap doa. 

Jalur Petak Banten ramai dilalui orang untuk turun, kira-kira di tempuh dalam waktu 2 jam. Treknya lumayan berdebu dan curam, untungnya bawaan kami sudah lebih ringan. Di perjalanan juga kami bisa menikmati manisnya semangka dan enaknya pisang goreng.

Aku bersyukur karena kami ada dalam cerita semesta. Mungkinkah alam juga sama halnya menyaksikan kami yang berkeluh kesah, menonton lelucon, merindukan kehangatan, sampai berlomba mengabadikan mentari? Mengutip kata Alexander Supertramp, "Rasa cintaku kepada manusia tidak pernah mengalahkan perasaan cintaku kepada alam."


Sikunir, Prau
Hendra, Ali, Qin, Imam, Ica, Novi, Yapi, Inggrid
September 2017

Comments