Tunas hijau

Aku bercampur dengan makna yang bercucuran seperti layaknya tanah usang. Tidak terburu-buru karena aku tahu pada suatu hari di bawah mentari yang rajin minum teh tawar, aku akan bertemu dengan rupamu yang senang bernyanyi. “Lupakan saja yang sudah berlalu. Kau harus maju untuk bertemu ruang yang menerimamu apa adanya.”

“Tidak mau. Aku mau tempat yang membuatku bertumbuh, seperti puisi yang rajin ku pupuk dengan NPK, yang setiap pagi mentari sirami selama dua jam, yang kulindungi dari hujan deras di malam hari.”

Tetapi di samping aku menjelaskan, kamu menoel pipiku. Seakan-akan membuka mataku, kamu berkata. “Buatlah kalau begitu. Buat ruangan impianmu itu, mandilah dengan pupuk, basuhlah badanmu dengan air mata hujan, menarilah di bawah mentari yang kau idolakan. Lalu tidurlah yang nyenyak saat bintang tidak pernah bosan memukau malam.”

“Kau benar. Aku tidak akan bosan menumbuhkan impian di kepalaku. Asal kau mau kemari setiap hari. Duduk bersamaku di bawah pohon ini, lalu bangun puisi kita bersama.”

Karena impianku sebuah rumah tidak beratap, alasnya hanya sobekan buku usang yang layu dan lupa untuk di jemur. Hanya saja suaranya lantang, rajin bernyanyi walaupun buta nada. Katamu tidak apa, siapa tahu sampai di telinga Sang Pencipta.

Comments