Ransel merah

Semakin bertambah usia, seorang gadis kecil tumbuh menjadi seorang yang serba ingin tahu.

Ia tahu ke mana angin mencerai beraikan harapannya sehingga ia harus pergi ke pelosok dunia untuk mengumpulkannya. Hari demi hari, bulan demi bulan. Dengan gigih, dengan sebuah ransel berwarna merah, ia berkelana sendirian namun tidak kesepian. Atap langit adalah rumahnya, pijkannya seperti rasa pelukan seorang ibu.

Setiap malam ia menemui sesosok monster besar yang tidak pernah menganggunya tidur. Monster besar itu kian malam semakin dekat, seakan ingin memeluknya sehingga ia mempunyai seorang teman. Gadis kecil pun tertidur lelap di samping monster. Begitu pagi hari tiba, monster hilang begitu saja.

Gadis bertanya dalam hatinya, seperti apa dirinya kelak setelah semua harapan itu terkumpul dalam ranselnya. Sampai saat itu tiba, ia akan terus mencari mencari mencari dan mencari. Lalu terbesit bahagia di wajah mungilnya, "Ah, aku akan segera pulang."

Di bulan ke empat, ransel merah sudah hampir penuh dan terlalu berat untuk di bawa pulang. Perjalanan pulangnya sudah hampir dekat, tetapi perjalanannya tidak akan mudah karena di depan akan ada padang gurun berpasir dan terik matahari akan mencuri semangatnya.

Malam hari sebelum menuju padang pasir, temannya si monster seakan berbisik dalam mimpinya. Ia terbangun dengan napas yang tersenggal, teringat kata-kata monster itu 'Terlalu berat membawa semuanya.' Gadis terdiam, wajahnya menjadi murung, ia ingin membawa semuanya pulang.

Di kemasnya ranselnya, berjalanlah gadis melewati padang gurun dengan segudang tekad. Panas, terik, matahari seperti membakar kulitnya yang sudah kecoklatan. Sampai ia tidak kuat lagi, dilepaskannya ranselnya, dibuka dan dipilah pilihlah satu persatu harapan. Mana yang harus di buang di perjalanan ini. Begitu seterusnya, hingga tidak terasa hanya tertinggal satu harapan di tasnya.

Sebuah rumah mungil dengan banyak bunga matahari menyambutnya. Ia telah pulang. Di peluknya ayah dan ibunya dengan berlimpah rindu, selama lima menit ibunya mencium kening si gadis. Dibuatkan segelas teh manis hangat dan roti berlapis selai kacang.

Hingga saat yang ditunggu-tunggunya tiba, ia membuka ranselnya, mengeluarkan satu harapan yang tersisa. Harapan itu bersinar-sinar memenuhi wajahnya yang mungil, dengan senyum sumringah ia berkata "Ayah, ibu, hanya harapan ini yang bisa aku bawa pulang. Harapan ini tidak membuat kita kaya, tidak membuat kita selalu ada dalam kemudahan, tidak menjanjikan apa-apa seperti harapan lainnya yang aku tinggalkan."

"Ini harapan terkecil yang sanggup aku simpan saat perjalanan pulang. Jika dipelihara dengan baik, harapan ini akan melahirkan harapan-harapan lain, tepat di dalam rumah ini."

Gadis kecil puas, dengan senyumnya yang sebesar bulan malam itu, ia tertidur lelap di antara ayah dan ibunya. Sambil menggenggam harapan, ia memejamkan mata dan mengucapkan sampai jumpa lagi kepada monster besar di sudut kamar.

Comments