Sarapan pagi

Hari ini aku menumpang makan pagi di rumahmu. Di meja makanmu tersedia bubur ayam dengan mangkok ayam, sangat serasi. Lalu ada pigura lukisan krayon, dua buah gunung dengan matahari ditengah-tengahnya, serta sawah hijau yang mengapit jalan di sebuah desa. Selebih itu, di dalam rumahmu sudah banyak kardus kecil yang siap diangkut.

Katamu, hari ini adalah jamuan makan pagi terakhir. Karena besok pagi, kamu akan pindah rumah ke negeri seberang yang harus kutempuh dengan kapal laut untuk menemuimu. Sudah bertahun-tahun aku mengenalmu, tidak ada suara gentar yang terucap di bibir kecilmu karena kamu selalu siap dengan kemungkinan perjumpaan dan perpisahan. Kamu seperti kapal di tengah lautan yang siap menghadapi gelombang badai ataupun karang. Jika terjatuh, katamu, kamu siap untuk bangkit lagi.

Itu yang aku kagum darimu. Perlahan sambil menyantap bubur ayamku, aku perhatikan wajahmu yang tersenyum walaupun sibuk menyiapkan teh manis hangat permintaanku. Ada suara radio tentang berita kriminal hari ini, tetapi kamu bergumam sambil menyanyikan lagu kesukaanmu yang dari dulu itu-itu saja. Dari dalam bisa aku lihat daun-daun menari menabrak kaca jendela seakan bertegur sapa padaku. Karena mulai besok, aku yang akan merawatnya.

Pagi ini sepi, aku tidak banyak bicara. Aku biarkan kamu berbicara banyak hal tentang macam-macam. Katamu burung sudah jarang bernyanyi setiap pagi, senja berbalapan denganmu setiap hari, hujan yang tanahnya akan kamu rindukan, radio mungil nan tua didekat meja makan dan pigura dua buah gunung dengan matahari ditengah yang berdebu. Mengingatkanmu pada waktu yang gemar berlari dan realita kamu sudah beranjak dewasa.

Katamu lagi, kamu akan merindukan rumah mungil di tengah kota ini dan sepeda yang kamu pakai ke pasar. Aku menimbrung, aku akan merindukan perjumpaan kita setiap Sabtu pagi. Aku bilang, perasaanku tetap akan tinggal seperti manisnya teh hangat buatanmu dan seabadinya bubur ayam dalam mangkok ayammu.

Comments