Membeli semangat

Sore hari ini aku memutuskan untuk pergi keluar. Ditengah-tengah kesedihan yang merekah seperti bunga di tepi jalan. Langit tidak berteman lagi dengan debu-debu polusi. Hanya ada aku, bunga di tepi jalan dan langit biru.

Aku pergi ke pasar tradisional dengan berkaos putih dan rambut dicepol ke atas. Aku membawa uang banyak, karena tanggal tua baru kemarin dan aku baru saja gajian. Aku ingin ini dan aku perlu itu. Aku tidak beli ini dan aku beli itu. Sampai aku lupa, apa yang sebetulnya ingin aku beli.

Di satu kios, langkahku terhenti. Kios itu tidak besar, terlihat rapih dan nampak sederhana. Bapak yang menjual barang dagangannya duduk sambil membaca koran. Berita apa hari ini? Ah ya, apalagi tentang jumlah angka yang semakin meningkat. Angka apa saja yang selalu ingin eksis di koran-koran Ibukota.

Tiba-tiba Bapak itu berhenti membaca korannya, karena aku bertanya dengan lantang. "Pak, berapa harga semangat? Aku mau beli!" sambil aku merogoh uang sisa di kantong celana. Kios itu sepi, tidak pernah seramain kios-kios lain di sekitarnya. Di mejanya tertata banyak papan bercat putih 'Dijual Semangat', 'Dijual Cinta'. Sedangkan si Bapak hanya duduk-duduk sambil baca koran. Ya bagaimana bisa laku?

"Semangat dulu saya bagi-bagikan gratis Nak, tetapi tidak ada yang mencarinya. Belakangan ini saya jual murahpun, tidak ada yang mampir membeli. Sekarang saya jual mahal, kamu mau membelinya?"

Lantas terpikir olehku, tidak seorangpun yang bisa membeli semangat.

Comments