A self love

Di kala orang-orang share kebahagiaannya, aku jadi merasa jadi rumput yang gersang. Mungkin tetangga ga mau menengok ke rumputku atau menginjaknya. Walaupun begitu aku menerima itu bagian dari diriku dan aku tetap menyayangi diriku.

Biasanya, aku mudah disconnect dari hal-hal yang membuatku tertekanan, baik itu di tempat kerja maupun di rumah. Tentu saja karena aku punya banyak pelarian. Aku punya daftar short trip list, yang hampir tiga bulan sekali aku ambil cuti. Karena sekarang Covid? Staycation aja rasanya melelahkan. Aku punya daftar things to do on weekend. Karena sekarang Covid? Udah yang penting sehat dulu.

Jadi, aku mau minta maaf, jika aku banyak ga berkenan. Aku juga ternyata punya skill baru yang fasih kupelajari, yaitu menjadi orang yang menyebalkan dan overthinking.

Aku tahu dan sadari penuh, bukan usia yang membuat aku bisa semakin dewasa atau tidak. Tetapi apa yang aku yakini, apa yang aku izinkan masuk dan membentukku dan sparks apa yang bisa membuat keseharianku yang kebanyakan ada di depan layar komputer 8-12 jam perhari bisa tetap bermakna.

Dan disebuah Jumat malam, seperti Tuhan membantuku keluar dari benang kusut ini. Seperti pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial.

"Jika terlalu narrow fokus kita (yaitu diri sendiri), kita akan semakin mudah untuk merasakan negativity yang mengarah pada mental health yang kurang baik. Sebaliknya, jika kita melebarkan fokus kita, misal kepada komunitas & charity, kita akan semakin punya good mental health." - Tsamara.

Aku belajar untuk mensyukuri apa yang aku miliki sekarang dan bagaimana menyayangi diri sendiri. Beri batas, ambil waktu hargai tubuh dan waktu sendiri, hargai apa yang aku yakini, belajar untuk berkata-kata yang jujur dengan tulus hati.

Comments